KONSEP RIBA DALAM ISLAM DAN MENGAPA BUNGA BANK DIKATAN RIBA
Manajemen Keuangan Syariah 1
A.
Pembahasan
1.
Pengertian Riba
Bank merupakan badan usaha yang bergerak dibidang jasa. Sudah
sewajarnya apabila setiap bank menginginkan adanya imbalan (keuntungan) atas
jasa yang mereka sediakan. Melalui imban tersebut sebuah bank akan mampu
mengembangkan dirinya dan menjamin eksistensinya di tengah-tengah nasabahnya.
Hanya saja, imbalan tersebut ( yang kemudian disebut “bunga”) dalam prakteknya
terkesan mengeksploitasi nasabah, khusunya dalam sistem kredit, diman setiap
pinjaman kredit disertai dengan presentasi bunga, baik bunga modal maupun bunga
jatuh tempo. [1].
Adapun
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip mu’amalah dalam islam.[2]
Hukum
islam mendorong penerimaan keuntungan tetapi melarang pengenaan bunga, karna
bunga sudah ditentuakn terlebih dahulu sebelum terciptanya kegiatan,sehingga
adanya bunga tidak akan melihat untung ruginya seorang peminjam[3]
2.
jenis-jenis Riba[4]
Secara Garis
Besar Riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang
dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan
riba nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh)
2. Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan perubahan, tambahan
antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Secara umum, polemik
tersebut dilatar belakangi oleh 3 aspek mendasar, yaitu (1) karna prinsip
muamalah dalam islam bersumber dari nass yang sifatnya umum dan tidak rinci
maka peluang berijtihad didalamnya amatlah terbuka. (2) perbedaan ulama dalam
menentukan hal yang menjadi illat yang mengharamkan riba, antara ziyadah
(tambahan) dan ad’afan muda’afan (berlipat ganda) atau zulm ( aniaya) (muslihun
2004:119) (3), perbedaan ulama sejak jaman sahabat sampai sekarang mengenai
bentuk-bentuk riil riba yang diharmkan dalam nass (Ibn kathir 1994, 309:310).[5]
3. Jenis Barang Ribawi[6]
Para ahli fiqih Islam
telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam
kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari
pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
1. Emas, perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan
tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan
syariah, implikasi ketentuan tukar menukar antar barang-barang ribawi dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan
kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli.
Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,- dengan Rp 5.000,- dan
diserahkan ketika tukar menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan
dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat
akad jual beli. Misalnya Rp 5.000,- dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk
sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang
(emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa
persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang
elektronik.
4. Larangan Riba dalam Al Quran[7]
Larangan riba yang
terdapat dalam Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam
empat tahap
Tahap
pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman
riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai
suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
”dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan
agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).” (ar-Ruum:
39)
Tahap
kedua, riba digambarkan sebagai suatu
yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang
Yahudi yang memakan riba
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r& ÇÊÏÊÈ
“Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah”
(an-Nisa: 160)
“dan
disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”(an-Nisa:
160-161)
Tahap
ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan
kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang
banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman,
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w
(#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan Riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali-Imran: 130)
Ayat ini turun pada
tahun ke-3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria
berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau berlipat
ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat
umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.
Demikian juga ayat ini
harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah
yang turun pada tahun ke-9 Hijriah (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “
Alasan pembenaran Pengambilan Riba”, poin “Berlipat Ganda”).
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelass dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut
riba.
(al-Baqarah: 278-279)
5. Larangan riba dalam hadits[8]
Pelarangan riba dalam
Islam tidak hanya merujuk pada Al-Quran, melainkan juga Al-Hadits. Hal ini
sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut
aturan yang telah digariskan melalui Al-Quran, pelarangan riba hadits terinci.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah
saw masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu
akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah
melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus
dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita
ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih
banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Diantaranya,
Diriwayatkan oleh Aun
bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan
darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak
tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab
bahwa Rasulullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing,
dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta
ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”
(HR Bukhari no 2084 al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu
Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma
berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah saw dan beliau bertanya kepadanya,
“Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “ Saya mempunyai sejumlah
kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarnya dua sha’ untuk satu sha’ kurma
jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah saw, “Slepas itu Rasulullah saw terus
berkata, “Hati-hati! Hati-hati!Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba.
Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih
tinggi), jualllah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian
gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu. “ ( HR
Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwayatkan oleh
Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah saw melarang
penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai
keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu
Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash).
Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah
berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. “ (HR Muslim
no. 2971, dalam kitab al-Masaqqah)
Diriwayatkan oleh
Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw bersabda, “Malam tadi aku bermimpi,
telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah
kami ke suatu sungai daraah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di
pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di
tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi
laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan
memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu? Aku diberitahu
bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.”(HR
Bukhari no 6525, kitab at-Ta/bir).
Jabir berkata bahwa
Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membeyarnya, dan
orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,
“Mereka itu sama semuanya.”(HR Muslim no 2995, kitab al-Masaqqah).
Diriwayakan oleh Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku
melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh
ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka
itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
Al-Hakim meriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai 73 pintu
(tingkatan); yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan
zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena
tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk
dari-Nya. (Mereka itu adalah) peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak
yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/ menelantarkan ibu-bapaknya.”
6. Dampak Negatif Riba
1. Dampak ekonomi
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir
yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena
salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku
bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak
lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya
biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan,
terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang
negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman
lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara
peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga,
terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya
kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
2. Dampak Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak
adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain
agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi
dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa
usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari
dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak
bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa
berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba,
berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung[9]
Penafsiran
Riba Pada Masa Modern
Para
sarjana muslim modern berbeda pandangan tentang apakah larangan riba sebagaiman
yang diterangkan dalam A-Quran terdapat aplikasi dalam bunga bank modern.
Perbedaan ini tampaknya terfokus pada salah satu dari permasalahn sentral
sebagaiberiku, yaitu pertama, larangan riba dipahami dengan menekankan pada
aspek rasional, melalui pemahaman ini, unsur ketidakadilan menjadi isu sentral
atas pelaranganya,kudua , larangan riba dipahami berdasarkan legal formal
sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam hukum islam (figh). Paa modernis
cenderung berpijak pada pandangan yang pertama, sedangkan kelompok
neo-revivalis condong pada pandangan yang terakhir. Penting untuk dicatat,
bahwa yang dimaksudkan disini dengan pandangan neo revivalis adalah penafsiran
tradisional yang menekankan bahwa setiap bunga adalah riba.
a. Pandangan para midernis tentang riba dan bunga
Para modernis seperti
fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad (1984), Said al-Njjar (1989), dan Abd
al-Mu’nim al-Namir (1989) menekankan perhatianya pada aspek moral sebagai
bentuk pelarangan riba dan pengesampingan aspek legal formal dari larangan riba
sebagaiman yang dijelaskan dalam hukum islam. Argumentasi mereka adalh sebab
dilarangnya riba karna menimbulkan ketidakadilan, sebagaiman dalam al-Qur’an
diungkpkan” la tazhlimuna wa-la tuzhalamun” ( kamu tidak teraniaya dan tidak
pula kamu teraniaya). Para modernis juga mendasarkan pandangan mereka dengan
pandangan para ulama klasik, diantaranya seperti Razi, Ibn Qayyim, dan Ibn
Taimiyyah. Razi dalam menjelaskan diantara sebab-sebab larangan riba menyatakan
bahwa pemberi pinjaman (lender) akan semakin kaya raya, sedangkan peminjam dana
akan menjadi semakin miskin. Oleh karnanya ia tidak memperbolehkan transaksi
yang mengandung unsur riba termasuk membuka jalan bagi pihak yang kaya
melakukan pemerasan terhadap pihak yang miskin atas sejumlah kelebihan
tangguhan. Menurut Ibn Qayyim, seorang ulama mazhab hambali mengatakan bahwwa
larangan riba berkaitan dengan aspek moral. Berdasarkan praktek riba pada masa pra-islam,
dia mengatakan bahwa dalam banyak kasus para peminjam (debitu) adalah kalangan
orang miskin yang tidak punya pilihan lagi kecuali menanggungkan pembayaran
hutangnya. Berdasarkan alasan ini, menurut para modernis larangan riba secara
moral menompang dalam perubahan sosial ekonomi masyarakat. Muhammad Asad,
seorang mufassir modern, mengatan :
Secara kasarnya dapat
dikatakn, bahwa kekejaman riba( dalam pengertian digunakan dalam al-Quran dan
hadis nabi) terletak pada keuntungan yang diperoleh melalui pembebanan
(tanggungan) bungan pinjaman yang mencerminkan tindakn eksploitasi terhadap
pihak yang secar ekonmi lemah oleh kekuatan dan kelicikan. Melalui pertimbangan
rasional, dapat kita lontarkan sebuah pertanyaan : tentang macam-macam
transaksi pembiayaan bagaimankah yang di larang? Yang termasuk dalam kategori
riba adalah yang tujuan akhirnya mencerminkan tindakan amoral, yang secara
langsung berhubungan dengan kehidupan sosial ekonomi yang mendasari saling
keterikatan antara peminjam dan pemberi pinjaman.
Abdullah Yusuf Ali,
yang berupaya mendefinisikan riba dari perspektif moral, mengatak :
Tidak dapat disangsikan
lagi tentang pelarangan riba. Pandangan yang biasa saya terima seakan-akan
menjelaska, bahwa tidak sepantasnya memperoleh keuntungan dengan menempuh jalan
perdagangan yang terlarang, diantaranya pinjam meminjam terhadap emas dan
pperak serta kebutuhan bahan makanan meliputi gandum, gerst ( semacam gandum
yang dipakai untuk membuat bir), kurma dan garam. Menurut pandangan saya seharusnya larangan
ini mencangkup segala macam bentuk pengambilan keuntungan yang dilakukan secara
berlebih-lebihan dari seluruh jenis komoditi, kecuali melarang pinjaman kredit
ekonomi yang meruoakan produk perbankan modern.
Sedangkan menurut
Fazlur Rahman ketika menanggapi sikap mayoritas kalangan muslim terhadap bunga
:
Mayoritas kaum muslim
yang bermaksud baik degan sangat bijaksana terhadap etap berpegang teguh pada
keimananya, menyatakan bahwa al-Quran melarang seluruh bungan Bank, (menanggapi
penjelasan tersebut) sedih rasanya pemahaman yang mereka dapatkan dengan cara
mengabaikan bentuk riba yang bagaimanakah yang menurut sejarah dilarang,
mengapa al-Quran mencelanya sebagai perbuatan keji dan kejam mengapa
menganggapnya sebagai tindakan eksploitatif serta melarangnya, dan apa
sebenarnya fungsi bunga bank pada saat ini.
Bedasarkan penjelasan
diatas, tampaknya penyebab dilarangnya riba karena lebih mengandung unsur
eksploitasi terhadap kaum fakir miskin, dari faktor bunganya. Eksploitasi ini
dilakukan melalui bentuk pinjaman yang berusaha mengambil keuntungan dari nilai
pinjaman yang mengakibatkan kesengsaraan kelompok lain. Para modernis dalam
menanggapi berbagai macam bentuk bunga (interst) yang dipraktekan dalam sisitem
perbankan konvensional berusaha membedakan pandanganya antara membolehkan bunga
bank serta serta sah menurut hukum menolaknya
penolakn terhadap bungan bank umumnya berdasarkan pada pemahaman dari
adanya unsur ketidakadilan.[10]
OJK menilai suku bunga
dana perbankan telah diluar kewajaran. Tingginya suku bunga dana ini pada
giliranya akan berdampak pada high cost economy. Perlambatan ekspasi keditur,
meningkatkan resiko kreditpenurunan aktivitas perekonomian dan
perlambatannyapertumbuhan ekonomiper 1 oktober 2014,otoritas jasa keuangan
(ojk) melalui kebijakan supervisory action NO.SP-28DKNS/OJK/9/2014, memberikan
aturan penetapan suku bunga maksimum bagi perbankan untuk mengatasi persaingan
suku bunga deposito pada bank konvensional. Ojk menetapkan pemeberian maksimum
suku bunga simpana sebesar suku bunga penjaminan LPS sebesar 7.75 persen untuk
nominal simapana sampai dengan Rp 2 milyar. Adapun untuk bank dengan BUKU 4,
maksimu suku bunga 200bps diatas BI rate atau sebesar 9,50 persen. Sementara
untuk BUKU 3, maksimum suku bunga 225 bps diatas BI rate atau sebesar 9,75
persen termasuk seluruh insentif yang diberikan secara langsung kepada nasabah
penimpanan dana.[11]
ANALISA
pertentangan yang ditimbulkan adalah mengenai perbedaan antara riba
dan bunga. Salah satu pemikiran percaya bahwa apa yang dilarang Islam adalah
riba, bukan bunga. Sementara suatu pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak
terdapat perbedaan antara riba dan bunga.
Menurut saya bunga
termasuk dalam riba. Sudah jelas jika bunga merupakan tambahan sesuatu dari apa
yang dia pinjamkan yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa
memperhitungkan pemanfaatan dari pokok pinjaman dan pada umumnya bunga
dikenakan dalam time value of money. Dan begitu juga pengertian riba yang
tercantum dalam surat al-Rum ayat 39, “riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan
kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain.”
Dari pengertian kedua tersebut riba dan bunga merupakn tambahan
untuk harta yang dipinjamkan. Tetapi
bagi orang sangat sangat
membutuhkan (dhorurot) transaksi perbankan dan disitu memang tidak ada
perbankan syariah hukumnya masih diperbolehkan dengan tujuan baik dan menjauh
dari bunga.
DAFTAR PUSTAKA
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta : pustaka
pelajar 2008
Syafi’iAnthonio, Muhammad, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani, 2001
Hasim, Muhammad syarif, Bunga bank antara paragigma tekstual dan
konstektual. Jurnal hunafa. Vol.5 no 1 (2008). diakses 30-04-2017 pukul 11.25
wib
Hennie Van Greuning, Zamir Iqbal, Analisis Resiko Perbankan
Syariah, Jakarta, Salemba Empat, 2011
lailiyah, Hikamatu, analisis perbedaan profitabilitas umum syariah
sebelum dan sesudah adanya pembatasan suku bunga deposito bank konvensional.
(2017). Diakses 3-04-2017 pukul 07.00.
[1] Muhammad
syarif hasim, Bunga bank antara paragigma tekstual dan konstektual. Jurnal
hunafa. Vol.5 no 1(2008). diakses 30-04-2017 pukul 11.25. hal 46
[2] Muhammad Syafi’iAnthonio, Bank Syari’ah dari Teori
ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.37
[3] Hennie
Van Greuning, Zamir Iqbal, Analisis Resiko Perbankan Syariah, (Jakarta, Salemba
Empat, 2011),hal.7
[5] Muhammad
syarif hasim, Bunga bank antara paragigma tekstual dan konstektual. Jurnal
hunafa. Vol.5. diakses 30-04-2017 pukul 11.25. hal 47
[10]
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta : pustaka pelajar 2008)
cetakan ke III, Hal 72-75
[11]
Hikamatu lailiyah, analisis perbedaan profitabilitas umum syariah sebelum dan
sesudah adanya pembatasan suku bunga deposito bank konvensional. (2017).
Diakses 3-04-2017 pukul 07.00. hal.4-5
Komentar
Posting Komentar